Monday, April 23, 2012

Setelah Kepong Mengepung Kebun di Langkat

DIREKTUR Utama PT Perkebunan Nusantara II (PTPN 2), Bhatara Moeda Nasution,  bagai kebakaran jenggot ketika Menteri BUMN, Dahlan Iskan, mengkritik perusahaan yang melakukan kerjasama dengan swasta dan asing, namun memperoleh bagian lebih kecil. Humas PTPN II, Rahmuddin, menjelaskan bahwa kerjasama operasi  PTPN2 dengan Kuala Lumpur Kepong Plantation Holdings Berhard (KLKPH) atau PT Langkat Nusantara Kepong, masih menguntungkan, sehingga tidak perlu dibatalkan. Demikian dikutip koran MedanBisnis, Jumat, 20 April 2012.

Kerjasama Operasi (KSO) pengelolaan perkebunan kelapa sawit dan karet di Wilayah Distrik Rayon Tengah PTPN II dengan hak KLKPH ditandatangani 9 Juni 2009 oleh Dirut PTPN 2, Bahatara Moeda Nasution dan Direktur Utama PT LNK Mr. Liem Hoong Joon di Kantor Kementerian Negara BUMN, Jakarta. Penandatangan disaksikan Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Menteri BUMN, Gubernur Sumut, Bupati Langkat dan pejabat PTPN I -XIV. Sebelumnya, 8 Mei 2009, ditandatangani kerjasama usaha patungan  untuk mendirikan PT LNK.

Kabar kerjasama selama 30 tahun itu sejak awal memang telah menjadi gunjingan. Sebagai perusahaan BUMN yang berpengalaman selama puluhan tahun, pihak Direksi PTPN 2 dinilai hanya mau enaknya saja dengan menyerahkan pengelolaan perkebunan itu kepada asing. Apalagi dalam kerjasama itu, PTPN 2 hanya memiliki saham 40 persen, sedangkan pihak KLKPH menguasai 60 persen. Artinya, jalannya perusahaan  itu dikendalikan penuh oleh KLKPH, yaitu pihak asing.

Namanya asing, tentu saja mereka lebih mementingkan keuntungan semata. Berbeda dengan PTPN2 sebelumnya, yang selain mencari keuntungan, secara tidak langsung memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Misalnya, di areal perkebunan tersebut masih dibolehkan mengembala sapi atau kambing. Sebab bila usaha peternakan tumbuh, itu tanda perusahaan tersebut bermanfaat langsung kepada masyarakat.

Ketika PT LNK mulai menguasai perkebunan itu, hal pertama yang mereka anggap masalah adalah banyaknya ternak penduduk yang berkeliaran di areal perkebunan. Mereka lalu membuat parit dalam sekeliling kebun mereka, sehingga sapi dan kambing masyarakat sekitar tidak bisa mencari makan di sana. Sejumlah usaha ternak penduduk bangkrut setelah LNK mengepung kebun mereka pagar lubang itu. Padahal kita tahu, daerah Langkat adalah penghasil ternak, karena mereka memanfaatkan lahan PTPN2 untuk mengembala.

Alasan PTPN2 melakukan kerjasama karena perkebunan PTPN 2 di wilayah Langkat memiliki kinerja teknis dan keuangan yang kurang menggembirakan dibanding distrik lain, juga itu tidak bisa sebagai alasan.
Itu tanda perkebunan milik negara itu tidak diurus dengan baik. Sehingga tingkat produktifitas sangat rendah, kondisi kebun dan pabrik memprihatinkan menjadi alasan untuk 'menjual"nya kepada asing. Sebab PTPN 2 memerlukan dana sekitar Rp 800 miliar untuk memperbaiki kondisi yang membikin rugi itu.

Kita heran juga, masak tidak ada pengusaha dalam negeri atau BUMN di bidang perkebunan lain yang bisa diajak kerjasama dengan investasi Rp 800 miliar. Sehingga untuk merehabilitasi besar-besaran perkebunan sawit seluas 13.389,89 hektar dan perkebunan karet seluas 6.815,73 hektar itu PTPN2 harus mencari mitra ke luar negeri. Kita curiga ada apa-apa. Sebab perkebunan di Langkat itu stategis dari sisi letak. Hanya berjarak 30 kilometer dari Medan. 

Kita tidak anti kerjasama dengan pihak luar. Mestinya, kerjasama dengan pihak luar itu betul-betul di bidang yang tidak dikuasai oleh bangsa kita. Kalau masih di bidang persawitan, agaknya kita belumlah kalah dengan Malaysia.  Seperti disebutkan PTPN2, kerjasama dengan LNK produksi kebun sawit yang sebelumnya 10 - 11 ton/ha dapat meningkat menjadi 27 ton/hektar, sedangkan karet yang tadinya berkisar 0,4 - 0,5 ton karet kering/hektar dapat meningkat menjadi 1,5 ton/hektar.

Kita sedih melihat PTPN2 yang telah "berkarat" mengelola perkebunan sawit, ternyata tidak memiliki kemampuan, baik dalam "ilmu dan teknologi persawitan" serta keuangan, sehingga perlu mengajak pihak Malaysia demi dana sebesar Rp 800 miliar. Apa boleh buat, namanya menggunakan duit orang lain, Kepong harus dijadikan bos dan perusahaan BUMN itu harus rela menjadi "anak buah asing" di negeri sendiri.

Friday, April 20, 2012

Korupsi Masih Merajalela

TERCIUM aroma korupsi di Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Sejumlah rekanan menuding telah terjadi jual beli proyek di sejumlah SKPD di Madina. Proyek yang "dipermainkan" itu adalah proyek yang sumber dananya dari BDB dan APBN. Kepada rekanan yang mau memenangkan tender diminta menyetor kepada SKPD sebesar 7 persen sampai 10 persen dari nilai proyek. Berita ini antara lain diberitakan Harian Waspada, Jumat, 20 April 2012, halaman B3.

Tudingan ini dibantah oleh sejumlah SKPD Madina. Namun adanya aroma korupsi dalam penetapan pemenang tender proyek-proyek pemerintah mengindikasikan kepada kita bahwa Kantor Pemerintah, khususnya di Sumatera Utara, belum bersih dari praktik KKN. Agaknya, banyak pihak yang tahu tentang masalah ini. Sejumlah rekanan pasti tahu bagaimana permainan busuk itu masih terjadi hingga sekarang. Namun karena berbagai kepentingan, rekanan diam saja.

Biasanya para rekanan maklum jika yang mendapat bagian lebih banyak adalah kelompok tim sukses, kelompok keluarga dan sahabat-sahabat pejabat penting yang mendapat bagian proyek. Bahkan ada daerah yang pembagi proyek bukan SKPD, namun orang-orang dekat atau "panglima talam" pejabat di sana.  Namanya yang memegang kendali adalah Panglima Talam, urusannya tidak bergeser dari urusan makan minum alias duit.

Mereka membagi  berdasarkan besarnya peran. Yang besar-besar dapat bagian kakap pula. Sedangkan yang biasa-biasa bagiannya juga sedang-sedang saja. Namun hasilnya bisa untuk hidup lebih makmur dari rakyat yang kini banyak kelaparan. Lantaran proyek pemerintah ini dibagi berdasarkan kepentingan kawan-kawan, biasanya juga dikerjakan asal jadi. Sehingga tidak heran bila sarana dan fasilitas umum cepat rusak. Dan yang rugi adalah rakyat, sedangkan yang untung adalah mereka yang bisa mendapatkan proyek tersebut melalui jalur kongkalikong.

Entah kapan negeri ini bersih dari KKN. Agaknya berharap korupsi hapus tandas dari bumi Indonesia ini hanya mimpi. Sebab pemerintah yang kita harapkan bisa menjalankan pemerintahan bersih dari korupsi, masih gemar memakan uang rakyat. Mereka bagai pagar makan tanaman. Pejabat negara yang semestinya menjaga harta negara, justru sering kali mencurinya.

Ini fakta. Bahkan sebuah berita menyebut 70 persen Gubernur di Sumatera korupsi.
Dari 10 provinsi di Sumatera, hanya tiga gubernur yang tidak korupsi. Hanya Jambi, Lampung dan Bangka Belitung saja mantan gubernurnya yang tidak ada tersangkut korupsi. Untuk tingkat Bupati dan Walikota, di Sumut saja sudah banyak diadili. Menurut data di Kemendagri, ada 173 kepala daerah di Indonesia tersangkut kasus korupsi.

Bagi mereka yang kini menjabat, janganlah mentang-mentang berkuasa lalu menggunakan duit rakyat secara serampangan.  Jangan pula nanti bila duit negara habis dan mereka tak mampu membangun, mereka lalu  merengek-rengek minta pada rakyat. Seperti meminta harga BBM, PBB dan retribusi dinaikkan. Entah apa isi otak mereka sehingga tidak bisa memakmurkan negara dengan menggali potensi lain di negara yang bersumber daya alam kaya raya ini. Jika mereka hanya pandainya membebankan kepada rakyat setiap ada persoalan pemasukan ke kas negara yang kurang, untuk apa mereka jadi pemerintah.

Sebaiknya mereka tahu diri, jika sudah tak mampu memimpin. Jangan mereka memaksakan diri bila memang sudah tak pantas jadi pemimpin. Setahu kita pemimpin itu harus bisa membikin rakyat tenang, bukan membuat rakyat tegang. Herannya kita, semakin pandai pemimpin membuat rakyat stres, itu pula yang dianggap pintar. Makanya tidak heran bila UN yang jelas-jelas telah membikin sebagian besar siswa sekolah di Indonesia stres, tetap dipertahankan.



Saturday, April 14, 2012

Hikmah Gempa Setelah Rusuh

GEMPA ternyata bisa meredakan amarah massa yang tidak puas pada hasil Pilkada Aceh. Padahal beberapa jam sebelum gempa berkuatan 8,5 SR melanda Aceh dan kawasan lain Sumatera, di beberapa tempat di Aceh terjadi kerusuhan. Akibat kerusuhan itu, tiga kantor Camat di Gayo Lues, masing-masing Kantor Camat Blangkejeren, Dabung Gelang dan Blangpegayon, hangus dibakar massa yang tidak puas pada hasil Pilkada. Akibatnya, seluruh peralatan administrasi di ketiga kantor itu ikut terbakar. Kerugian ditaksir Rp 10 Miliar.

Namun belum lagi reda kemarahan massa, lalu berguncanglah gempa dahsyat. Massa berlarian menyelamatkan diri, tidak terkecuali massa yang ikut berunjukrasa. Keadaan rusuh langsung kondusif.  Sampai malam, keadaan di Gayo Lues tidak lagi rusuh. Sebab mereka khawatir, jika sewaktu-waktu gempa susulan terjadi lagi. Walau tidak berada di kawasan pantai yang berpotensi tsunami, gempa telah membikin amarah sebagian masyarakat Gayo Lues mereda dengan sendirinya.

Bencana alam memang bisa menyebabkan manusia sadar dan mendorong orang memilih jalan damai untuk menyelesaikan konflik.  Perdamaian di Aceh tercipta seperti sekarang ini, harus diakui sebagai hikmah dari peristiwa gempa dahsyat dan tsunami pada Desember 2004. Ratusan ribu masyarakat Aceh, menjadi korban. Ini mendorong kelompok bertikai di Aceh, untuk berdamai. Hasilnya seperti sekarang ini. Masyarakat Aceh, telah dua kali menyelenggarakan Pilkada secara demokratis, terlepas dari berbagai dinamika yang terjadi menyertainya.

Peristiwa gempa yang terjadi Rabu sore, 11 April 2012, kita harapkan sebagai renungan bagi seluruh masyarakat Aceh. Apalagi secara ilmu pengetahuan, gempa yang berkekuatan 8,5 SR yang berpusat di kedalaman di bawah 30 kilometer di bawah laut berpotensi tsunami. Gempa yang melanda Aceh dan kawasan Aceh dan Sumatera berada pada kedalaman 10 kilometer di bawah dasar laut. Tidak heran bila sejumlah ilmuan Amerika menilai ajaib gempa itu tidak menghasilkan tsunami.

Sebagai umat beragama, kita patut mensyukuri rahmat Tuhan ini sehingga tidak terjadi korban banyak akibat gempa itu. Kitapun berharap masyarakat Aceh akan semakin damai, maju dan sejahtera. Amin.

Konflik Lahan Tak Kunjung Usai

PERSOALAN  lahan eks Hak Guna Usaha (HGU)  PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 2 kini bagai ketiak ular. Makin rumit. Terbetik kabar bahwa  sebagian lahan PTPN2 telah dikeluarkan dari HGU, tapi faktanya seluruh lahan tersebut masih dikuasai PTPN2. Semestinya, bila lahan tersebut tidak lagi masuk HGU PTPN2, perusahaan itu harus mengembalikannya kepada negara. Untuk apa mereka menguasai lahan yang bukan milik mereka dan atas nama siapa mereka menguasai lahan tersebut.

Kita berharap pimpinan PTPN2 jujur. Seperti dikatakan anggota komisi A DPRD Sumut, Raudin Purba, manajemen PTPN2 harus transparan menyampaikan soal luas HGU, agar masyarakat jangan sampai merasa dibohongi. Berdasarkan pengakuan PTPN2, kata Raudin, perusahaan itu hanya menguasai 56 ribu hektar lebih. Tapi faktanya di lapangan mencapai 97 ribu hektar.

Menurut politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, pihak PTPN2 tidak pernah transparan menjelaskan lahan yang sah menjadi miliknya berdasarkan izin HGU dan tidak mau mengukur ulang lahan yang dikalimnya sebagai areal yang dimilikinya. "Saya menduga sudah terjadi manipulasi," kata Raudin sebagaimana dikutip Sinar Indonesia Baru (SIB). Bila ada perbedaan luas yang dilaporkan dan luas yang dikelola, berarti sudah terjadi manipulasi pajak.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, yang membawahi PTPN2, tidak mau dituduh ikut terlibat menjual aset negara terkait pelepasan ribuan hektar lahan eks HGU PTPN2 itu. Kepada wartawan di Medan, Jumat, 13 April 2012, dia menyatakan setuju lahan tersebut dilepas saja ke masyarakat, asal sesuai dengan hukum dan aturan berlaku.

Walau sudah ada pernyataan Dahlan yang setuju eks lahan PTPN2 diserahkan kepada masyarakat, agaknya masalah lahan eks HGU itu tetap saja rumit. Itu karena masalah tersebut sudah terlalu lama tidak diselesaikan. Belum ada pejabat di Sumut yang mampu menyelesaikan problem lahan eks HGU PTPN2 itu. Apalagi, kabarnya di atas lahan yang sama banyak masyarakat yang merasa memiliki. Bila tidak arif menyelesaikannya, dikhawatirkan bisa menimbulkan konflik berkepanjangan.

Semestinya, jika lahan tersebut sudah tidak lagi masuk HGU PTPN2, harus dikembalikan kepada yang berhak, yaitu negara. Hanya negaralah yang berhak mengatur peruntukannya. Jadi pihak-pihak yang memegang amanah negara untuk mengawasi lahan tersebut, jangan pula tergoda untuk mengambil lahan itu untuk kepentingan pribadi. Jika itu terjadi, masyarakat juga akan ikut menguasai lahan tersebut, sehingga akan memicu konflik.

Jadi semua pihak harus menahan diri. Pihak  pejabat --baik Pemrov, Pemkab, PTPN2, termasuk aparatur keamanan -- yang mengetahui areal mana yang sudah keluar HGU, jangan pula berupaya memanfaatkan "pengetahuannya" untuk menguasai lahan tersebut. Bila pejabat negara sudah taat hukum, barulah mereka bisa didengarkan rakyat jika meminta masyarakat tidak mengambil lahan yang bukan haknya seperti eks lahan PTPN2 tersebut. Jika semua saling berebut, jangan harap masalah lahan eks HGU PTPN2 itu bisa selesai.

Kita tentu tidak ingin masalah lahan eks HGU PTPN2 menjadi sumber konflik di Sumut ini. Kita mengharapkan para elit Sumut mempunyai niat tulus menyelesaikan masalah ini. Jangan sampai pejabat ikut terlibat dalam konflik itu. Jika itu terjadi, siapa lagi yang kita harapkan menyelesaikan masalah yang sudah bagai lingkaran setan itu.

Wednesday, April 11, 2012

Rapuh Lantaran Terali Besi

PENGAMANAN dan kekokohan rumah ternyata tidak menjamin penghuni rumah di dalamnya aman. Itulah yang terjadi ketika toko peralatan elektronik Brayan Jaya di Pulau Brayan, terbakar, Selasa dinihari, 10 April 2012. Akibat kebakaran itu, tujuh orang penghuni rumah meninggal dunia terpanggang. Sedangkan, Elfrin Situmanggor, pembantu di rumah itu, luka parah karena meloncat dari lantai tiga rumah toko (ruko) itu.

Ketujuh korban yang meninggal adalah, Ana, 39 tahun, bersama tiga anaknya, Chelsea, 14 ahun, Chelson, 12 tahun dan Chelster, 9 tahun. Korban lainnya adalah mertua Ana, Ching Thing Acu, 80 tahun, dua adik Ana yang baru datang dari Taiwan, Amoi, 30 tahun dan Yulia, 22 tahun. Mereka tidak bisa menyelamatkan diri karena tidak bisa keluar dari ruko yang pintu depannya dilengkapi dengan jeruji besi itu.

Menurut Aho, 47 tahun, ruko tersebut digunakan abangnya, Along untuk mengelola toko Brayan Jaya. Along sendiri tidak tidak tinggal di sana, tapi di Jalan Budi Kemerdekaan No 42 C yang tidak jauh  dari ruko itu. Sedangkan di ruko tersebut, tinggal adik iparnya Ana bersama anaknya dan ibu mertuanya atau ibu Aho dan Along. Selain itu, di sana tinggal pula Elfrin Situmanggor, pembantu rumah. Sedangkan suami Ana, Ajen, baru meninggal tiga minggu sebelumnya.

Ana sendiri mengelola toko Citra Jaya berjarak beberapa pintu dari toko Brayan Jaya yang terbakar. Beberapa hari sebelumnya, tiga adik Ana datang dari Taiwan. Dua orang adik Ana --Amoi dan Yulia --menginap di ruko dan seorang lagi tidur di rumah Along. Menurut Aho, dinihari itu dia ditelepon Ana. Namun belum sempat bicara, teleponnya sudah putus.

Aho langsung berlari menuju lokasi kebakaran, yang tidak jauh dari rumahnya. Namun ketika sampai, masyarakat sudah ramai dan kobaran api sudah tinggi. Sejumlah mobil pemadaman kebakaran juga sudah datang. Awalnya Aho berusaha mendobrak pintu besi ruko, namun dihalangi petugas. Akhirnya dia pasrah menyaksikan ruko itu terbakar dan menewaskan tujuh kerabatnya tanpa mendapat pertolongan.

Kasus kebakaran ruko berpengaman jeruji besi yang menelan korban di Pulau Brayan ini adalah kasus yang kesekian kali terjadi di Medan. Sebelumnya kasus serupa pernah terjadi  beberapa kali. Umumnya korban tidak bisa diselamatkan karena jeruji besi ruko terlalu kokoh untuk dibuka paksa, baik oleh korban yang terkurung di dalam, maupun oleh masyarakat penolong dari luar.

Sebagian besar ruko dan rumah tempat tinggal penduduk keturunan Cina di Medan dilengkapi dengan pintu berlapis, termasuk jerejak besi. Ini dimaksudkan untuk keamanan dari gangguan maling. Terkadang mereka tidak melengkapi rumah dengan pintu darurat. Namun sikap kehati-hatian dengan melengkapi rumah dengan terali besi, justru menjadi petaka, terutama jika terjadi kebakaran.

Ternyata kebakaran ini membawa hikmah. Pemerintah Kota (Pemko) Medan bakal melarang rumah menggunakan terali besi dan tanpa pintu darurat di Medan. Ini untuk menghindarkan kasus serupa tidak menelan korban lagi. Walau terlambat, kita menyambut baik langkah Pemko ini.

Selain melarang pemasangan terali besi, pihak pemerintah semestinya juga meningkatkan keamanan dan mendorong interaksi positif masyarakat keturunan Cina dengan masyarakat sekitarnya. Sehingga masyarakat keturunan Cina tidak perlu lagi melengkapi rumah mereka dengan jerejak besi untuk menjaga keamanan pribadi dan keluarganya.